Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan
perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang
diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan
Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat
jauh dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan
statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil.
Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal
ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan
dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja
yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena baru dan
menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam
tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan
peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya untuk
mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus
sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama
terpinggirkan oleh sistem.
Karena pada kesempatan kali ini, publik akan memberikan
penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai
kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada
semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih
gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak
merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan.
Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah
perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar,
sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan
eksekutif sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan..
Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang 30%
di parlemen saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan UU No 10 tahun
2008, walaupun belum ada affirmative action yang memberikan previlage tertentu,
sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada
caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menunjukkan
keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari
sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari
pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%.
Berdasarkan data tersebut di
atas, kurang adanya pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam
proses politik, telah terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan
perempuan dalam perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah
dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming tentang perempuan sebagai bagian
dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan pendekatan
“Women In Development Approach (WID)”.
Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih
belum diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara
teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada
kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender.
Adapun upaya–upaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan
gender terus dilakukan oleh aktivis perempuan, pada tahun 1980-an, melalui
pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”. Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan
dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan
perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses
kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik.
Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan
berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan,
sampai diamanatkan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan yang kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang
ditetapkan pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah
meratifikasi melalui Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada
tanggal 24 juli 1984 melalui lembar negara no. 29 tahun 1984.
Meskipun demikian, sampai saat ini perjuangan menuju
kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya diskriminasi secara
struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat.
Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan terlebih
ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan melakukan
pembenahan-pembenahan sejak dini.
Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan
gender dalam kehidupan politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya
peraturan atau UU tentang pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan
perihal affirmative action terhadap keterwakilan perempuan dengan memberikan
previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya
affirmative action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai
harapan.
Kedua, diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan
bagi perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf
pendidikan bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya
saing kaum perempuan di bidang politik.
Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan pendidikan politik
yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh lembaga swadaya
masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga lain, tentang unggulnya
pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan memberikan
perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi masyarakat, sehingga kemungkinan
terpilihnya peminpim politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya
pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan
akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan
korupsi bisa segera dirasakan.