-->

Inilah Penyebab Keruntuhan Kerajaan Gowa Tallo

Keruntuhan Kerajaan Gowa Tallo
Sebab runtuhnya kerajaan Gowa Tallo adalah karena pengkhianatan Raja Arupalaka dari Bone dan Belanda berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin dengan memaksanya menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.

Inilah Penyebab Keruntuhan Kerajaan Gowa Tallo

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu: 
Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, danPunna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka. 

Cara Download: Klik judul file yang ingin download diatas >> Klik Get Link >> Klik Go to Link >> Selesai, saran kalau kamu menggunakan HP, gunakanlah Chrome/UC Browser.

Yang artinya sebagai berikut : 
Apabila raja yang memerintah tidak  mau lagi dinasehati atau diperingati, 
Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri, 
Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri, 
Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan  
Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya. 

Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa.

Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. 

Kemudian istana raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. 

Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). 

Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII. 

Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. 

Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha mengintroduksi agama Islam. 

Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel