Fungsi Penambahan Bahan Organik, Kapur & Pupuk NPK Pada Tanah
Peningkatan hasil dan perbaikan produktivitas tanah PMK
dapat dilakukan dengan pemberian pupuk, kapur, penambahan bahan organik dan
penambahan unsur-unsur lain yang kahat (Rumawas, 1984; Sudjadi,1984).
Pemberian bahan organik tidak hanya menambah unsur hara bagi
tanaman, tetapi juga menciptakan kondisi yang sesuai untuk tanaman dengan
memperbaiki aerasi, mempermudah penetrasi akar dan memperbaiki kapasitas
menahan air, meningkatkan pH, KTK, serapan hara dan menurunkan Al-dd, serta struktur tanah
menjadi remah.
Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan tanah, biomasa,
dan produksi tanaman pangan (Sastrosoedarjo, 1984). Hasil penelitian di
Rimbobujang (Jambi) dan Sanggau (Kalbar), menunjukkan bahwa pemupukan 150 kg/ha
Urea, 200 kg/ha TSP dan 50 kg/ha KCl ditambah pupuk dasar 1 ton/ ha kapur dan 5
ton/ha pupuk hijau (BO) memberikan hasil jagung dan kacang tanah yang cukup
memuaskan, pada tanah Podsolik (Sumartono dan Roesdi, 1982).
Kenaikan pH tanah disebabkan oleh meningkatnya kadar ion Ca,
akibat penambahan kapur dan adanya pengaruh tidak langsung dari hasil
dekomposisi bahan organik.
Penambahan kapur meningkatkan kadar Ca2+ dan menimbulkan
efek netralisasi sebagai akibat reaksi subtitusi ion H+ dengan ion Ca2+. Dekomposisi
bahan organik akan menghasilkan antara lain asam karbonat hasil reaksi CO2
dengan H2O yang akan mempercepat aktivitas CaCO2 atau kapur pertanian (Supardi,
1983; Miller dan Donahue, 1990).
Kadar bahan organik pada tanah yang ditanami terus menerus
akan menurun sebesar 35 % dibandingkan dengan tanah pada kondisi awal sebelum
ditanami, sehingga bahan organik harus diberikan secara teratur (Supardi,
1983).
Pemberian mulsa secara teratur dapat mempertahankan kadar
bahan oganik tanah (Suwardjo, 1981).
Bahan organik tanah berasal dari penimbunan sisa tumbuhan
dan binatang yang telah mengalami pelapukan lanjut maupun sebagian, sehingga
bahan organik tanah berada dalam bentuk yang tidak mantap dan selalu
berubah. Akibatnya, harus selalu
diperbaharui melalui pengembalian sisa-sisa panen (Supardi, 1983; Miller dan
Donahue, 1990).
Pemberian bahan organik dan kapur dapat meningkatkan
kandungan P tersedia dalam tanah. Hal
ini disebabkan oleh adanya pengaruh langsung dari penambahan bahan organik dan
kapur serta pengaruh tidak langsung dari penambahan bahan organik
(Sukristriyonubowo, 1993).
Pengaruh tidak langsung terjadi karena proses dekomposisi
bahan organik yang menghasilkan asam-asam organik mampu menonaktifkan
anion-anion pengikat fosfat, yaitu Al dan Fe, dan membentuk senyawa logam
organik. Sedangkan pengaruhnya secara
langsung karena bahan organik merupakan sumber P dan S tersedia dalam tanah
(Miller dan Donahue, 1990).
Pemberian bahan organik, kapur maupun pemupukan NPK
meningkatkan hasil biji kering kacang tanah secara nyata (Sukristriyonubowo,dkk,
1993) .
Pemberian bahan organik dari pemangkasan Flemingia
congesta yang diberikan secara periodik mampu meningkatkan hasil sebesar 66 %
jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik.
Pada pemberian pupuk NPK dengan takaran 100 kg/ha,
pemberian kapur mampu meningkatkan hasil berkisar 42 – 78 %. Tetapi pada pemberian pupuk NPK dengan
takaran 50 kg/ha peningkatan hasil biji kering kacang tanah hanya terjadi pada
pemberian kapur dengan takaran 1.000 kg/ha, yaitu sekitar 2,7 kali jika
dibandingkan dengan tanpa pemberian kapur.
Sedangkan pemberian pupuk NPK dengan takaran 100 kg/ha mampu
meningkatkan hasil biji kering sekitar 102 % jika dibandingkan dengan takaran
50 kg/ha.
Hal ini disebabkan penambahan bahan organik, kapur dan
pemupukan NPK mampu memperbaiki beberapa sifat tanah, seperti pH tanah,
kandungan bahan organik, P-tersedia, KTK tanah dan menurunkan kandungan Al-dd
Tanah di Kawasan
Tropik Basah
Tanah-tanah tropis dengan curah hujan tinggi telah mengalami
pencucian, menyebabkan jumlah kation basa yang dapat dipertukarkan
berkurang.
Kompleks petukaran dalam tanah di dominasi oleh ion-ion
hidrogen dan aluminium, menyebabkan tanah semakin masam serta dapat menurunkan
kapsitas tukar kation melalui proses perubahan mineral liat dalam tanah (De
Coninck, 1974)
Masalah agronomi yang penting pada tanah tropika adalah
kekahatan hara dan kemampuan tanah menahan air yang rendah. (William dan
Yoseph, 1976)
Lahan kering di Kalsel didominasi oleh tanah Podsolik Merah
Kuning (Ultisol). Tanah ini memiliki
tingkat pencucian hara tinggi, sebahagian besar kahat Ca, Mg, K, P, N, dan
mempunyai kejenuhan Al tinggi serta rentan erosi.
Masalah yang dihadapi dalam mengembangkan usahatani pada
lahan kering masam :
1. Faktor pembatas pertumbuhan yang merupakan kendala utama
rendahnya produktivitas lahan :
Rendahnya kesuburan tanah
Tidak tersedianya air sepanjang tahun
2. Suhu yang tinggi
3. Ketidak merataan curah hujan
4. Kerentanan tanah terhadap erosi
Peningkatan produktivitas sistem pertanian lahan kering
masam di daerah tropika secara berkelanjutan :
1. Pemulsaan dan pengolahan tanah
2. Penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK
3. Optimalisasi pola tanam
4. Konservasi tanah.
PEMULSAAN DAN PENGOLAHAN
TANAH
Tanah yang produktif harus dapat menyediakan lingkungan
yang baik seperti udara dan air bagi pertumbuhan akar tanaman, disamping harus
mampu menyediakan unsur hara.
Faktor lingkungan tersebut menyangkut berbagai sifat fisik
tanah seperti ketersediaan air, temperatur, aerasi, dan struktur tanah yang
baik.
Pengolahan tanah diperlukan bila kepadatan, kekuatan dan
aerasi tanah tidak mendukung penyediaan air dan perkembangan akar.
Sebagian tanah Podsolik merah kuning mempunyai horizon B
yang berat dan padat dimana lapisan di bawah 15 cm sering sudah terlalu padat
sehingga mengganggu akar tanaman.
Akibatnya sebagian besar akar tanaman hanya berada di lapisan atas yang
tipis dan tanaman mudah mengalami kekeringan.
Untuk memecahkan masalah ini perlu mencoba mengolah tanah
lebih dalam.
Tanah yang diolah dalam tanpa mulsa bila setiap musim
tidak diolah lagi akan menjadi padat.
Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya pori aerasi, yaitu 11,8 %. Sebaliknya dengan pengolahan tanah sekali
saja dan diberi mulsa tanah tetap gembur.
Pori aerasi tanah pada perlakuan tersebut setelah 8 bulan tidak diolah
masih cukup tinggi yaitu 15 sampai 17 %, hampir sama dengan yang diolah setiap
akan tanam.
Bila tanah tidak diolah dan tidak diberi mulsa aerasinya
cepat memburuk karena terjadi penyumbatan pori makro oleh butiran tanah sebagai
akibat pecahnya agregat tanah karena benturan air hujan. Sebaliknya tanah yang ditutupi mulsa pori
aerasinya masih baik karena pecahnya agregat tanah jauh lebih sedikit.
Adanya mulsa dapat melindungi tanah dari energi kinetik
hujan, sehingga mencegah atau mengurangi pecahnya agregat tanah dan menghindari
penyumbatan serta pemadatan.
• Mulsa yang menutupi permukaan tanah menyebabkan cahaya
matahari tidak dapat langsung mencapai tanah, sehingga temperaturnya lebih
rendah dari tanah terbuka.
• Pada malam hari mulsa dapat mencegah pelepasan panas
sehingga temperatur minimum lebih tinggi.
• Kedua peristiwa ini menyebabkan menurunnya fluktuasi
temperatur tanah harian.
• Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwardjo, Abdurachman
dan Sutono (1984), menunjukkan bahwa perbedaan temperatur tanah maksimum
bulanan antara yang diberi dan tanpa mulsa pada kedalam 10 cm berkisar 2 – 5o
C.
• Pada kedalam 5 cm penurunan temperatur tanah yang diberi
mulsa mencapai 5 – 12o C. Perbedaan temperatur harian antara tanah yang
diberi mulsa dan tanpa mulsa mencapai 8o C dan 10o C berturut-turut pada
kedalaman 10 dan 20 cm.
Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian di
India yang di laporkan oleh Prihar et al. (1979) bahwa pemberian jerami
menurunkan temperatur tanah sebesar 11,0; 7,01; dan 5,4o C masing-masing pada
kedalaman 5, 10 dan 20 cm.
Menurut Lal (1979) bahwa pengolahan tanah maupun pemberian
mulsa sangat berpengaruh terhadap temperatur tanah. Temperatur tanah di Nigeria yang mencapai 42o
C, bila dengan mulsa jerami 4 ton/ha turun menjadi 34o C.
Penurunan temperatur tanah di daerah tropika merupakan salah
satu factor penyebab peningkatan hasil pertanian (Lal, 1979; Prihar et al.,
1979).
Barus, Suwardjo dan Haryadi(1984) menjelaskan bahwa dengan
mulsa 4 ton jerami per hektar produksi jagung di Bogor meningkat 2 kali lipat
.
Syarifuddin (1988) menunjukkan secara tegas manfaat mulsa,
dimana perlakuan 6 ton per hektar menghasilkan produksi jagung dan kedelai yang
tinggi.
OPTIMALISASI POLA
TANAM
• Pertumbuhan tanaman
di lahan kering sangat dipengaruhi oleh keadaan curah hujan.
• Untuk menghindari
resiko kegagalan panen, pemilihan waktu tanam suatu jenis tanaman dan
varietasnya harus tepat.
• Pemilihan saat dan
masa tanam didasarkan pada indikator indeks kecukupan air (water satisfaction)
yang dikenal sebagai nisbah evapotranspirasi aktual (ETA) dan evapotranspirasi
tanaman (ETC).
• Apabila waktu tanam
dan masa tanam diketahui, maka langkah selanjutya adalah menyusun pola
tanam.
• Dalam penyusunan
pola taman, selain aspek biofisik maka harus pula memperhatikan pola tanam yang
telah berkembang pada masyarakat setempat, sehingga pola tanaman yang
dikembangkan bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali tetapi merupakan
pengembangan dari pola tanam yang telah sudah ada.
• Mengetahui pola
tanam petani sangat penting sebagai dasar bagi perancangan suatu pola
introduksi yang mampu meningkatkan intensitas dan produktivitasnya.
KONSERVASI TANAH
Teknologi Konservasi Tanah :
1. Teknik olah tanah konservasi, terdiri atas olah tanah
minimum (OTM / minimum tillage) dan tanpa olah tanah (TOT / zero tillage) yang
dapat menghemat biaya pengolahan, menekan erosi, dan memperbiki sifat fisik
tanah.
2. Pemberian mulsa, berupa sisa-sisa tanaman, untuk
mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi aliran permukaan (run off) / erosi,
dan menambah bahan organik.
3. Penanaman pohon-pohon produktif, yang menghasilkan buah,
getah dan produk lainnya, yang dapat melindungi permukaan tanah dari terpaan
air hujan dan aliran permukaan.
4. Penanaman rumput pakan ternak sebagai tanaman strip
(hedgerow crops) pada tampingan dan bibir teras, seperti rumput gajah, rumput
raja, dan rumput benggala.
5. Sistem pertanaman lorong, dapat mengurangi erosi secara nyata.
6. Terasering, seperti teras gulud dan teras bangku. Teras bangku cocok untuk tanah yang solumnya
tebal, strukturnya stabil dan tidak mengandung besi dan Al tinggi dilapisan
bawahnya.