Perubahan Iklim Terhadap Ketahanan Pangan Nasional
Dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim telah
menimbulkan berbagai masalah terhadap lingkungan yang akhirnya berpengaruh
terhadap sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak tempat di dunia, frekuensi dan intensitas
bencana ini cenderung meningkat (Silvakumar, 2005). Banjir dan badai
mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30% diakibatkan kekeringan,
longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain.
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun
saja yaitu 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil karena
tenggelam. Dari 24 pulau yang tenggelam itu, 3 pulau di Aceh, 3 di Sumatera
Utara, 3 di Papua, 5 di Kepulauan Riau, 2 di Sumatera Barat, 1 di Sulawesi
Selatan, dan 7 pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta. Pulau-pulau ini tenggelam
akibat erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk
kepentingan komersial.
Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak pada
tenggelamnya tiga pulau kecil stempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini,
terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain, akan berdampak
hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut
(yang semula jadi penentu tapal batas negara) wilayah perairan Indonesia akan
berkurang.
Artikel terkait lainnya:
• Pengaruh Iklim Terhadap Tanah
• Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Iklim di Indonesia
• Jenis Iklim - Iklim Yang Terjadi Di Indonesia
• Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Kehidupan Manusia
• Dampak Perubahan Iklim Terhadap Makhluk Hidup
Artikel terkait lainnya:
• Pengaruh Iklim Terhadap Tanah
• Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Iklim di Indonesia
• Jenis Iklim - Iklim Yang Terjadi Di Indonesia
• Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Kehidupan Manusia
• Dampak Perubahan Iklim Terhadap Makhluk Hidup
Dalam menghadapi perubahan iklim ada dua kebijakan besar
yang harus dilakukan yaitu mitigasi yang dapat diartikan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, dan upaya mitigasi
yang difokuskan pada penggunaan energi, di mana kebijakan mix energi
menggunakan energi terbarukan yang semula hanya 5% sekarang menjadi 17%.
Isu perubahan iklim (climate change) dewasa ini telah
mengalami transformasi dimensi isu dari yang bersifat global menjadi isu strategis
nasional. Persoalan ini merupakan sebuah kewajaran mengingat perubahan iklim
yang memiliki dampak terhadap kepentingan nasional sebuah negara. Salah satu
kekhawatiran terbesar dari perubahan iklim adalah dampaknya terhadap pertanian
dan ketahanan pangan nasional.
Terdapat beberapa hasil penelitian yang mengindikasikan
pengaruh negatif dari perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian. Hal ini
tentu menjadi kekhawatiran besar mengingat kebutuhan akan pangan terus
meningkat sejalan dengan peningkatan populasi manusia di muka bumi yang pada
tahun ini saja diprediksi akan mencapai 7 miliar jiwa. Hasil penelitian Food
and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2010 menginformasikan bahwa mulai
tahun 2030 mendatang, akan terjadi bencana kelaparan global yang dialami oleh
beberapa negara berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kondisi
tersebut merupakan dampak dari produksi pangan yang lebih rendah dari
permintaannya serta diperparah oleh fenomena perubahan iklim global.
Secara ilmiah, perubahan iklim global dipicu oleh akumulasi
gas-gas pencemar di atmosfer terutama karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dinitrooksida (N2O) dan klorofluorokarbon (CFC). United States Department of
Agriculture (USDA) tahun 2010 menyebutkan bahwa telah terjadi kenaikan
konsentrasi gas-gas pencemar tersebut sebesar 0,50-1,85% pertahunnya.
Konsentrasi tinggi dari gas-gas pencemar tersebut akan memperangkap energi
panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi di zona atmosfer. Fenomena
tersebut sering disebut sebagai efek rumah kaca (green house effect) yang
diikuti oleh meningkatnya suhu permukaan bumi yang diistilahkan sebagai
pemanasan global (global warming).
Sebagai komponen utama dari perubahan iklim, pemanasan
global membawa beberapa dampak ikutan, antara lain meningkatnya anomali curah
hujan. Meningkatnya risiko kekeringan (el nino) maupun kebanjiran (la nina)
merupakan salah satu dampak dari terjadinya anomali curah hujan. Hal ini juga
mengindikasikan bahwa pertanian menjadi sektor yang paling rentan terhadap
fenomena anomali curah hujan yang merupakan dampak ikutan dari perubahan iklim.
Beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan suhu udara di
atmosfer sebesar 5oC akan diikuti oleh penurunan produksi jagung sebesar 40%
dan kedelai sebesar 10-30%. Sementara itu, peningkatan suhu 1-3oC dari kondisi
saat ini menurunkan hasil padi sebesar 6,1-40,2%. Pengaruh ini juga terlihat
pada tanaman kacang-kacangan yang mengindikasikan kaitan antara penurunan curah
hujan sebesar 10-40% dari kondisi normal dengan penurunan produksi sebesar
2,5-15%. Data lainnya terkait dengan cekaman kekeringan memberikan informasi
bahwa el nino yang terjadi pada tahun 1997 dan 2003 menyebabkan menurunnya
hasil padi sebesar 2-3%. Penurunan tersebut dapat menjadi lebih ekstrem apabila
el nino dibarengi dengan peningkatan suhu udara.
Selain kekeringan, anomali curah hujan juga menghasilkan
efek curah hujan yang ekstrem pada musim penghujan. Fenomena ekstremitas ini
mengakibatkan hamparan lahan pertanian tergenang yang akhirnya merusak
pertanaman. Penurunan hasil tanaman karena pengaruh genangan ditentukan oleh
lama genangan dan fase pertumbuhan tanaman. Genangan pada tanaman
kacang-kacangan yang terjadi pada fase vegetatif menurunkan hasil biji sebesar
124 kg/ha/ hari. Sementara itu, genangan pada fase reproduktif dapat menurunkan
hasil biji hingga 157 kg/ha/hari.
Masih terkait dengan peningkatan suhu harian dan frekuensi
kekeringan, ke depan akan semakin banyak ditemukan lahan yang menurun tingkat
kesesuaiannya bagi komoditas pertanian disebabkan oleh tingkat kegaraman lahan
yang cukup tinggi (salinitas). Efek salinitas terjadi karena meningkatnya
konsentrasi garam di lahan sebagai akibat dari penurunan kandungan lengas tanah
yang ditimbulkan dari tingginya evaporasi lahan yang dipicu oleh peningkatan
temperatur harian. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan efek
salinitas ini menginformasikan bahwa sebagian besar hasil tanaman pertanian
akan menurun apabila daya hantar listrik lahannya sudah mencapai 4,8 ds/ m.
Karena itu, diprediksikan bahwa efek salinitas tidak hanya terbatas pada
kawasan lahan yang dekat dengan laut, tetapi akan semakin meluas ke daerah
pedalaman.
Sementara itu, meningkatnya permukaan air laut sebagai
akibat pencairan es di kutub juga akan memunculkan risiko efek salinitas di
kawasan lahan yang berbatasan dengan laut sebagai akibat dari terjadinya
intrusi air laut. Data dari Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada tahun
2011 menginformasikan akan terjadinya peningkatan intrusi air laut di beberapa
wilayah Indonesia terutama kawasan pantai di Pulau Jawa pada 20 tahun mendatang
akibat peningkatan permukaan air laut serta eksploitasi air tanah yang
berlebihan.
Meskipun sebagian besar dampak dari perubahan iklim bersifat
negatif, terdapat beberapa dampak positif dari perubahan iklim global, salah
satunya yaitu peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfer. Kondisi
ini memberikan peluang bagi tanaman untuk meningkatkan produksi bahan keringnya
sehingga bisa dipergunakan untuk mengkompensasi pengaruh negatif dari cekaman
suhu tinggi, kekeringan, genangan dan salinitas. Salah satu hasil penelitian
yang dilakukan pada kacang-kacangan dengan simulasi cekaman suhu tinggi dan
kekeringan mengindikasikan peningkatan konsentrasi CO2 mampu menghilangkan
pengaruh negatif dari cekaman lingkungan yang ada.
Meski terdapat dampak positif di antara sekian banyak dampak
negatif dari perubahan iklim, hal ini dapat membahayakan ketahanan pangan
nasional kita. Karenanya tetap diperlukan langkah-langkah strategis yang tepat
dan efektif untuk mempertahankan produksi pangan pada level tinggi. Penulis
mendorong beberapa langkah strategis yang di antaranya yaitu pertama,
penggunaan varietas yang sesuai. Kedua, pemanfaatan air hujan secara efisien melalui
pemanenan air hujan (rain water harvesting) dan air banjir (flood water
harvesting). Beberapa teknologi pemanenan air yang dapat diaplikasikan yaitu
pembuatan embung dan dam parit.
Ketiga, pemanfaatan informasi iklim oleh petani yang dapat
ditempuh melalui kegiatan sekolah lapang iklim (SLI). Keempat, pengurangan
emisi gas rumah kaca dari praktik pertanian (khususnya padi sawah) melalui:
tidak membenamkan jerami atau bahan organik mentah ke dalam tanah tergenang
(emisi gas CH4), tidak menempatkan pupuk urea dalam keadaan teroksidasi (emisi
gas N2O) dan memilih varietas padi yang mempunyai emisi CH4 rendah. Kelima,
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) oleh petani, antara lain
berupa perangkat lunak (soft ware) untuk membantu pengelolaan budi daya
tanaman. Keenam, implementasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) atau integrated
crop management (ICM), melalui integrasi sumber daya lahan, air, tanaman,
organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim yang tersedia sesuai dengan
kemauan dan kemampuan petani.
Tujuan jangka panjang dari implementasi PTT adalah
peningkatan produktivitas tanaman dan lahan serta kelestarian lingkungan.
Keterlibatan petani secara aktif adalah hal yang mutlak dalam implementasi PTT
karena petani merupakan subjek, sehingga dapat dihasilkan teknologi spesifik
lokasi.
Melalui pengambilan langkah-langkah strategis tersebut di
atas, peningkatan produksi pangan nasional adalah sebuah kepastian sehingga
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional tidak sekadar retorika belaka.