Budidaya Tanaman Buncis di Lahan Rawa Lebak
Menurut Noor (2007), rawa lebak adalah kawasan rawa dengan
bentuk menyerupai cekunagn dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atasu
dua tanggul sungai (levee) atau antara daratan tinggi dengan tanggul sungai.
Rawa lebak adalah salah satu agroekosistem yang dimiliki Indonesia dengan luas
sekitar 13,28 ha, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas 4.166.000 ha, lebak
tengahan seluas 6.076.000 ha dan lebak dalam seluas 3.039.000 ha. Potensi rawa
lebak ini belum banyak dimanfaatkan atau dikembangkan. Petani di Kalimantan
Selatan memanfaatkan rawa lebak untuk membudidayakan pertanaman padi dan
sayuran pada lebak dangkal dan tengahan. Untuk Kalimantan Selatan sendiri dari
luas 1.238.573 ha lahan pertanian yang tersedia untuk dikembangkan, sekitar
409.101. ha (33,0%) diantaranya diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan,
494.791 ha (39,9%) untuk komoditas tanaman semusim dan sisanya 334.681 ha (27,0%)
di arahkan untuk padi sawah dan untuk peta ketersediaan lahan untuk
pengembangan pertanian di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Lampiran 3
(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010).
Menurut Farina (2008), lahan rawa lebak merupakan lahan yang
dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm
per tahun. Bahan induk tanah rawa lebak umumnya berupa endapan alluvial sungai,
endapan marin, atau gambut. Sifat fisik tanah dari lahan rawa lebak umumnya
tergolong masih mentah, sebagian melumpur, kandungan lempung (clay) tinggi atau
gambut tebal dengan berbagai taraf kematangan. Lapisan bawah sering berupa
lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam; atau pasir kuarsa yang miskin hara
menjadikan sifat kimia dan biologi tanah pada lahan rawa lebak tergolong sedang sampai sangat jelek.
Kesuburan tanah yang cenderung jelek ini juga disebabkan
oleh hidrologi atau sistem tata air yang buruk. Ketersediaan sarana dan
prasarana tata air yang belum memadai sehingga kinerja pengatusan (drainage),
pelindian (leaching), dan penggelontoran (flushing) belum mampu mempercepat
perkembangan tanah (Farina, 2008).
Lahan rawa lebak hampir merata terdapat di wilayah
Kalimantan Selatan, begitu juga dengan Hulu Sungai Utara yang merupakan salah
satu kabupatennya. Potensi lahan rawa lebak di Kabupeten Hulu Sungai Utara
terbilang cukup luas, dari 37.498 ha luas potensial baru 24.182 ha yang telah
dimanfaatkan untuk budidaya pertanian khususnya padi. Lahan rawa lebak di
Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan lahan yang kondisi airnya dipengaruhi
oleh air hujan, baik yang turun di daerah setempat maupun di daerah hulunya.
Berdasarkan genangan airnya lahan ini dibedakan dalam 3 zona hidrotopografi
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Hulu Sungai Utara,
2004).
Zona lebak pematang yaitu lahan dengan genangan airnya
relatif dangkal (< 50 cm) potensi zona ini seluas 9.134 ha, yang telah
dimanfaatkan seluas 5.949 ha. Zona lebak tengahan yaitu lahan dengan gengangan
air relatif dalam (50-100 cm) potensi zona ini seluas 15.377 ha, yang telah
dimanfaatkan seluas 13.462 ha. Zona lebak dalam yaitu lahan dengan genangan
airnya relatif sangat dalam (> 100 cm) dengan potensi lahan 12.987 ha, dan
yang telah dimanfaatkan seluas 4.771 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Hulu Sungai Utara, 2004).
Lahan rawa lebak yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan lahan yang berada di Desa Jumba Kecamatan Amuntai Selatan Kabupaten
Hulu Sungai Utara yang secara geografis terletak pada 02'17,2 LS - 02'27 LS,
115'05 BT - 115'15,2 BT. Luas wilayah kecamatan Amuntai Selatan adalah 183,16
km per segi (18.316 ha). Berdasarkan penggunaan tanah di bidang pertanian di
wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara , sawah seluas 23.853 ha, kebun campuran seluas 1.859 ha, hutan rawa seluas
22.768 ha. Secara jelasnya, penggunaan tanah pada masing-masing kecamatan yang
ada di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan analisis laboratorium untuk tanah rawa
lebak yang ada di Desa Jumba dapat dilihat pada tabel yang tertera pada
Lampiran 4 dan 5. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara, 2009).
Seperti pada umumnya lahan rawa lebak memiliki beberapa
permasalahan baik dari segi fisik, kimia dan biologinya. Rendahnya kesuburan
lahan dan pH tanah, adanya zat beracun (Al, H2S dan Na), hidrologi yang buruk,
pertumbuhan gulma yang sangat cepat dan adanya hama dan penyakit yang
seringkali menyerang tanaman budidaya menjadi kendala dalam pengembangan
tanaman pangan dan hortikultura (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Hulu Sungai Utara, 2004).
Budidaya buncis pada lahan jenis ini memerlukan tindakan
pemupukan, hal ini perlu dengan alasan hara tanaman yang disediakan oleh media
tumbuh tanaman dalam jumlah yang terbatas. Pada lahan rawa sangat rentan
sewaktu-waktu zat hara akan berkurang karena tercuci ke dalam lapisan tanah,
terbawa erosi bersama larutan tanah, hilang melalui proses evaporasi dan
diserap oleh tanaman itu sendiri. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus
menerus tanpa adanya perbaikan, maka makin lama persediaan hara dalam tanah
makin berkurang sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman terganggu. Untuk
mencukupi kebutuhan hara tersebut perlu tambahan dari luar melalui pemupukan.
Diharapkan dengan pemupukan akan mengembalikan dan meningkatkan kandungan hara
tanah sehingga tanaman akan subur dan produksinya melimpah (Kuring, 2007).
Membudidayakan tanaman buncis di lahan rawa lebak maka agar
pertumbuhan dan perkembangan serta produksinya optimal sangatlah memerlukan
unsur hara baik makro maupun mikro untuk meningkatkan kesuburan tanah yang
dapat dilakukan dengan cara perbaikan teknik budidaya, salah satunya dengan
pemberian pupuk. Budidaya tanaman buncis memerlukan jumlah pupuk yang cukup
besar yaitu pupuk kandang sebagai pupuk dasar sebanyak 25 t.haˉ¹, sedangkan
untuk standar kebutuhan pupuk anorganik/kimia untuk pupuk urea sebanyak 110-220
kg.haˉ¹, pupuk SP-36 sebanyak 280-556 kg.haˉ¹, dan pupuk KCl sebanyak180-250
kg.haˉ¹ (Cahyono, 2003).
Saat ini pupuk anorganik terbilang mahal dan langka bahkan
ada beberapa pupuk tersebut palsu tetapi beredar di pasaran, selain itu
penggunaan pupuk anorganik sintetik pun saat ini tidak dianjurkan sebab menurut
penelitian penggunaan pupuk anorganik dalam jumlah dan jangka waktu yang lama
justru akan merusak dan menurunkan kualitas tanah. Maka untuk mengatasi masalah
tersebut serta untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tanaman buncis perlu
dikembangkan potensi sumberdaya hayati yang bersifat ramah lingkungan dan dapat
dijadikan sebagai substitusi pupuk anorganik sintetik, salah satunya adalah
Pupuk Organik Granul (POG) (Isroi, 2008).