-->

Prinsip - Prinsip Kegiatan Usaha Pegadaian Konvensional dan Syariah

Prinsip - Prinsip Kegiatan Usaha Pegadaian Konvensional

1. Defenisi Dan Terjadinya Perjanjian Gadai
Gadai merupakan terjemahan kata pand atau vuistpand (bahasa Belanda), peldge atau pawn (bahasa Inggris), pfand atau faustpfand (bahasa Jerman), dan dalam hukum adat disebut pula dengan istilah cekelan.

Tersedia 8 File PDF PPT DOC Tentang Pegadaian:

  1. PRINSIP GADAI (RAHN) BERDASARKAN SYARIAH HUKUM ISLAM [PDF]
  2. Prinsip Prinsip Dasar Pada Aplikasi Pegadaian Syariah Ekonomi [PDF]
  3. PERBEDAAN PRINSIP ANTARA AZAS PEGADAIAN KONVENSIONAL DENGAN PEGADAIAN SYARIAH [PDF]
  4. Pengantar Ekonomi Syariah [PPT]
  5. Pegadaian [PPT]
  6. PEGADAIAN.doc [DOC]
  7. Pegadaian dalam kajian Islam [DOC]
  8. Riba, mudharabah, gadai dan perbankan islam [DOC]

Cara Download: Klik judul file yang ingin download diatas >> Klik Get Link >> Klik Go to Link >> Selesai, saran kalau kamu menggunakan HP, gunakanlah Chrome/UC Browser.

Pasal 1150 KUHPerdata mendefenisikan gadai sebagai jaminan yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Prinsip - Prinsip Kegiatan Usaha Pegadaian Konvensional dan Syariah


Adrian Sutedi mengartikan gadai sebagai suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangya pada saat jatuh tempo.  Hal senada juga dikemukakan oleh Salim HS yang menyatakan bahwa gadai adalah suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur, dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya. 

Untuk terjadinya hak gadai maka diperlukan unsur-unsur sebagai berikut :
- Adanya perjanjian gadai antara pemberi gadai dan pemegang gadai (Pasal 1151 KUHPerdata).80
- Adanya penyerahan barang secara nyata (levering) dari pemberi gadai kepada pemegang gadai (Pasal 1152 KUHPerdata). 
- Adanya pemberitahuan (Pasal 1153 KUHPerdata).

Baca : Pengertian Pegadaian Menurut Para Ahli [Lengkap]

2. Dasar Hukum Gadai
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau merupakan jaminan atas pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Memang pada dasarnya pemberian suatu hutang adalah adanya rasa percaya kreditur kepada debitur untuk melunasi hutang-hutangnya. 

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya debitur yang lalai atau memang sengaja tidak mau melunasi hutang yang telah diperjanjikan sebelumnya. Oleh karena itu maka kreditur berharap adanya jaminan oleh undang-undang terhadap piutang-piutangnya. Jaminan yang diberikan kepada kreditur ini di dalam undang-undang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa “Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

Dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, berdasarkan sifatnya maka hak jaminan terbagi 2 yakni hak jaminan umum dan khusus. Pada hak jaminan umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1131 KUHPerdata memberikan jaminan kepada kreditur atas hutang-hutang debitur dengan jaminan seluruh harta benda debitur. Akan tetapi hak jaminan ini tidak memberikan rasa puas bagi kreditur karena kurang menimbulkan rasa aman bagi kreditur sehingga timbullah hak jaminan khusus yakni dimana kreditur mempunyai hak yang oleh undang-undang ditentukan sebagai piutang yang diistimewakan dan piutang yang diikat dengan kebendaan tertentu atau dijamin oleh seseorang. Salah satu dari jaminan khusus ini ialah hak jaminan berupa kebendaan yakni gadai. Adapun yang menjadi sumber hukum gadai itu sendiri adalah KUHPerdata Buku II, BAB XX, Pasal 1150 s/d 1160.

3. Sifat / Ciri-Ciri Hak Gadai
Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam KUHPerdata maka gadai sebagai jaminan kebendaan memiliki sifat/ciri-ciri sebagai berikut :
- Gadai merupakan hak kebendaan, yakni memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa dikemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai barang jaminan. 
- Gadai adalah untuk benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.84
- Gadai bersifat Droit De Suites, meskipun barang gadai tersebut beralih kepada orang lain akan tetapi barang tersebut tetap mengikuti kepada siapapun objek atau barang-barang itu berada. Jika barang gadai tersebut hilang atau dicuri orang lain, maka kreditur selaku pemegang gadai mempunyai hak untuk menuntut kembali. Adapun jangka waktu untuk menuntut kembali adalah selama 3 Tahun. 
- Gadai bersifat mendahului (Droit De Preference), oleh karena itu kreditur berhak memperoleh hak didahulukan piutang-piutangnya. 
- Gadai bersifat accessoir/tambahan, yang ada atau tidaknya tergantung pada ada atau tidaknya piutang sebagai perjanjian pokoknya. Misalnya perjanjian utang piutang, pinjam meminjam, atau perjanjian kredit.87
- Benda gadai harus dikuasai oleh pemegang gadai ( inbezitstelling),dimana benda yang digadaikan harus diserahkan oleh debitur kepada kreditur selaku pemegang gadai. Akan tetapi barang yang diserahkan kepada pemegang gadai bukanlah penyerahan secara yuridis yang mengakibatkan pemegang gadai menjadi pemiliknya. Jadi kendati barang gadai berada pada kekuasaan kreditur tetapi kreditur tidak boleh menikmati atau memanfaatkannya, karena fungsi gadai hanyalah sebagai jaminan pelunasan utang yang jika debiturnya wanprestasi dapat digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya. 
- Gadai tidak dapat dibagi-bagi (ondelbaar), hal ini dikarenakan gadai membebani seluruh objek kebendaan yang digadaikan, kendati hutang yang dibayarkan telah dibayar sebahagiannya. Oleh karena itu meskipun hutang telah dilunasi separuhnya tidak menyebabkan bebasnya sebahagian benda yang digadaikan.89 8. Hak menjual sendiri benda gadai (recht van eigenmachtige verkoop), jika si debitur wan prestasi. Dari hasil penjualan tersebut kreditur berhak mengambil pelunasan piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu. 
- Gadai memiliki hak yang kuat dan mudah penyitaannya, pemegang gadai dapat melelang atau mengeksekusi barang gadai jika debitur wanprestasi tanpa harus melalui izin hakim pengadilan atau tanpa melalui jurusita di pengadilan. 

4. Objek Hukum Gadai
Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1150 KUHPerdata maka jelaslah bahwa barang/benda gadai yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan gadai adalah barang/benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, misalnya piutang-piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat berharga seperti surat atas tunjuk dan atas bawa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1152 dan 1153 KUHPerdata. Hal senada juga diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/24/UUPK/PK tanggaal 16 Maret 1972.92Akan tetapi Surat Edaran ini menyebutkan bahwa tidak semua barang bergerak dapat dibebani hak gadai, akan tetapi terdapat jenis kebendaan bergerak lainnya yang dapat dibebani dengan fidusia.

5. Subjek Hukum Gadai
Berdasarkan ketentuan yang temaktub dalam Pasal 1150 KUHPerdata maka yang menjadi subjek hukum gadai adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai yang terdiri dari debitur sebagai pihak yang memberikan jaminan gadai, dinamakan pemberi gadai (pandgever) dan kreditur sebagai pihak yang menerima jaminan gadai, dinamakan penerima gadai atau pemegang gadai (pandnemer).

Akan tetapi berdasarkan kesepakatan maka barang gadai dapat diberikan atau diserahkan kepada pihak ketiga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1152 ayat 1 KUHPerdata, yang dinamakan sebagai pihak ketiga pemegang gadai. Kemudian Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata memberikan kemungkinan kepada pihak ketiga untuk menjamin utang orang lain. Pihak ketiga tersebut disebut sebagai pihak ketiga pemberi gadai. Sebagai pihak ketiga pemberi gadai maka ia termasuk orang yang bertanggung jawab (mempunyai haftung) atas suatu utang orang lain, tetapi tanggung jawabnya hanya sebatas sebesar benda gadai yang ia berikan, sedangkan selebihnya menjadi tanggung jawab debitur sendiri. Oleh karena itu kreditur tidak mempunyai hak tagih kepadanya karena ia bukan debitur, tetapi ia hanya bertanggung jawab secara yuridis dengan benda gadainya.

Pada dasarnya pemberi gadai haruslah orang yang berwenang untuk untuk melakukan pebuatan hukum terhadap kebendaan bergerak yang akan digadaikan. Akan tetapi pengecualian terhadap prinsip orang yang berwenang menggadaikan barang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1152 ayat 4 KUHPerdata bahwa “ Penerima gadai tidaklah dapat dipertanggung jawabkan atas kebendaan gadai yang diterimanya dari pemberi gadai yang tidak berwenang menggadaikan barang.” Hal ini tidak menyebabkan atau tidak mengakibatkan perjanjian gadainya menjadi cacat hukum atau tidak sah atau batal. Dalam hal ini undang-undang memberikan perlindungan hukum kepada pemegang gadai selama yang bersangkutan beritikad baik serta pemilik sejati atau asal tidak dapat menuntut kembali barang yang digadaikan tersebut.Tetapi sebaliknya jika pemegang gadai beritikad buruk maka perlindungan hukum berlaku kepada pemilik sejati atau asalnya, dan pemilik sejati atau asalnya tersebut dapat menuntut kembali barang yang digadaikan dengan syarat tidak melebihi jangka waktu yang diberikan yakni selama tiga Tahun. Pasal 1152 ayat 4 KUHPerdata ini juga berlaku terhadap penuntutan barang gadai yang hilang atau dicuri pada saat berada ditangan pemegang gadai.

Pemberi gadai dan penerima gadai dapat berbentuk perseorangan dan persekutuan atau badan hukum. Di Indonesia satu-satunya lembaga atau badan hukum yang memberikan pinjaman berdasarkan hukum gadai adalah lembaga Pegadaian yang dikenal dengan sebutan PT.Pegadaian.

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak
- Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai
Selama berlangsungnya gadai pemegang gadai selaku kreditur memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, baik terhadap benda gadai bergerak berwujud maupun tidak berwujud. Dalam hukum perdata pemegang gadai berhak untuk menahan (retentie) barang gadai yang dipertanggungkan sampai waktu pelunasan hutang, termasuk bunga dan biaya lainnya dalam rangka pengurusan barang gadai yang diserahkan kepadanya (Pasal 1159 KUHPerdata). Pemegang gadai berhak mengambil pelunasan dari pendapatan penjualan kebendaan yang digadaikan, penjualannya mana baik dilakukan atas dasar parate eksekusi maupun putusan pengadilan (Pasal 1155 KUHPerdata). Pemegang gadai berhak mendapat ganti rugi atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya guna menyelamatkan barang gadai tersebut (Pasal 1157 ayat 2 KUHPerdata). Pemegang gadai berhak melakukan penjualan atas barang gadai secara langsung (Pasal 1155 KUHPerdata). Pemegang gadai berhak memperoleh bunga jika piutang yang digadaikan menghasilkan bunga, dengan memperhitungkannya dengan bunga utang yang seharusnya dibayarkan kepadanya atau kalau piutangnya tidak dibebani dengan bunga, maka bunga benda gadai yang diterima kreditur pemegang gadai dikurangkan dari pokok bunga ( Pasal 1158 KUHPerdata). Pemegang gadai mempunyai hak didahulukan atau preferens dalam pelunasan piutangnya dari kreditur-kreditur yang lainnya. Pemegang gadai berhak untuk menjual barang gadai dalam kepailitan debitur, dengan kata lain pemegang gadai dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Pemegang gadai berhak untuk dapat menguasai barang gadai dengan jumlah yang ditetapkan oleh hakim dalam vonis hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya (Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata). Pemegang gadai berhak untuk menagih piutang gadai kepada pemegang gadai yang dilakukan dengan pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali.

Adapun kewajiban-kewajiban dari pemegang gadai adalah pemegang gadai wajib bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya nilai barang yang digadaikan yang diakibatkan oleh karena kelalaian pemegang gadainya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPerdata). Pemegang gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai, jika bermaksud hendak menjual barang yang digadaikan kepada pemberi gadai dengan melalui sarana pos, telekomunikasi, atau sarana komunikasi lainnya ( Pasal 1156 ayat 2 dan 3 KUHPerdata). Pemegang gadai berkewajiban untuk mengembalikan barang yang digadaikan setelah utang pokok beserta dengan bunga dan biaya-biaya lainnya telah dilunasi oleh pemberi gadai (Pasal 1159 ayat 1 KUHPerdata). Pemegang gadai dilarang untuk menikmati kebendaan yang digadaikan kepadanya dan pemberi gadai berhak untuk menuntut pengembalian kebendaan yang digadaikan tersebut dari tangan pemegang gadai bila pemegang gadai menyalahgunakan kebendaan yang digadaikan tersebut (Pasal 1159 ayat 1 KUHPerdata). Pemegang gadai berkewajiban memberikan peringatan ( somasi ) kepada pemberi gadai jika yang bersangkutan telah lalai memenuhi kewajibannya membayar pelunasan piutangnya (Pasal 1155 ayat 1 KUHPerdata). Pemegang gadai berkewajiban pula untuk menyerahkan daftar perhitungan hasil penjualan kebendaan gadai yang bersangkutan dan sesudahnya pemegang gadai dapat mengambil bagian jumlah yang merupakan bagian pelunasan piutangnya (Pasal 1155 ayat 1
KUHPerdata).

- Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai
Pemberi gadai selaku kreditur mempunyai hak untuk menuntut jika barang gadai itu telah hilang atau mundur sebagai akibat dari kelalaian pemegang gadai. Pemberi gadai berhak mendapat pemberitahuan terlebih dahulu dari pemegang gadai apabila barang akan dijual. Pemberi gadai berhak mendapatkan kelebihan atas penjualan barang gadai setelah dikurangi dengan pelunasan utangnya. Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikannya apabila utangnya dibayar lunas.

Prinsip - Prinsip Kegiatan Usaha Pegadaian Konvensional dan Syariah

Selain pemberi gadai memperoleh hak-hak maka ia juga memiliki kewajibankewajiban yakni kewajiban untuk meyerahkan barang yang dipertanggungkan sampai pada waktu utang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga. Pemberi gadai berkewajiban bertanggung jawab atas pelunasan utangnya, terutama dalam hal penjualan barang yang digadaikan. Pemberi gadai berkewajiban memberikan ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan barang-barang yang digadaikan. Pemberi gadai wajib menerima jika pemegang gadai menggadaikan lagi barang yang digadaikan apabila telah diperjanjikan sebelumnya.

7. Hapusnya Gadai
KUHPerdata tidak mengatur secara khusus mengenai sebab-sebab hapusnya gadai. Akan tetapi dari ketentuan Pasal 1150 s/d 1160 KUHPerdata maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab yang menjadi dasar hapusnya/berakhirnya gadai adalah hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan yang dijamin dengan gadai. Hal ini sesuai dengan sifatnya yang acessoir, dimana ada atau tidaknya suatu hutang berdasarkan perjanjian pokoknya, jika perjanjian pokoknya hapus maka gadainya pun menjadi hapus. Lepasnya benda yang digadaikan dari kekuasaan pemegang gadai, yang dikarenakan dilepaskannya benda gadai secara suka rela oleh pemberi gadai, atau hapusnya benda yang digadaikan. Terjadinya percampuran, dimana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan dan terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditur pemegang gadai.

Baca : Inilah 10 Produk Pegadaian Konvensional dan Syariah yang Aman dan Cepat

Prinsip - Prinsip Kegiatan Usaha Pegadaian Syariah
1. Defenisi Gadai Syariah/ Ar-Rahn
Gadai syariah disebut dengan arrahn. Arrahn secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang artinya tsubuut dan addawaam (kekal), dapat pula dikatakan maa’un raahinun (air yang diam, menggenang, tidak mengalir), atau adakalanya berarti alhabsu atau alluzuum (menahan), sebagaimana yang dimaksud dalam Q.S: Almuddatsir : 38 yang artinya:” Tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) oleh apa yang diperbuatnya.” 

Secara terminologi arrahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sesudah ditebus. 

Sedangkan menurut syara’ arrahn memiliki beberapa pengertian diantaranya:
- Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
- Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang.
- Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.98

Selain defnisi rahn yang dikemukakan oleh ahli hukum diatas, para ulama fiqh juga memberikan pengertian arrahn sebagai berikut:
- Ulama Syafii’yah mengartikan rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan yang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
- Ulama Hanabilah mengungkapkan rahn adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
- Ulama Malikiyah mendefenisikan arrahn sebagai sesuatu yang bernilai harta (mutawammal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap ( mengikat ).
Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa gadai syariah atau arrahn adalah suatu akad perjanjian dalam Islam yang diawali dengan adanya ikatan hutang piutang antara rahin dan murtahin, yang kemudian diikuti dengan penyerahan suatu barang yang bernilai ekonomis sebagai jaminan atas tanggungan hutang yang diberikan oleh rahin kepada murtahin, sebagai syarat jika hutang tidak dapat dilunasi maka barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual guna melunasi hutang-hutangnya tersebut.

2. Dasar Hukum Gadai Syariah/Ar-Rahn
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah sebagai berikut:
- Al-Qur’an.
a. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 283, yang artinya “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 
b. Firman Allah dalam Q.S Almudatsir ayat 38, yang artinya “ Setiap diri dipertanggung jawabkan atas apa yang diusahakannya “. 

- Al-Hadits.
a. Hadits Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah SAW pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim). 
b. Dari Anas RA berkata, “Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau”. (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah). 
c. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW berkata, “ Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga-nya ). Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan) nya.” (HR. Jamah kecuali Muslim dan Nasa’i).106
d. Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW berkata, “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya.
Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya).” (HR. Syafi’i dan Daruqutni).  

- Ijtihad Ulama.
Para ulama fiqh sepakat bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya dan juga landasan hukumnya. Mazhab Syafii berpendapat bahwa Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang mengadaikan (rahin) dipaksa untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika borg sudah berada ditangan pemegang gadaian (murtahin) , orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan Imam Syafii yang mengatakan hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian. 

- Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ( DSN-MUI ) merupakan salah satu rujukan yang berkenaan dengan gadai syariah, yang terdiri dari :
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.25/DSNMUI/III/2002, Tentang Rahn.
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.26/DSN-MUI/III/2002, Tentang Rahn Emas.

3. Sifat Ar-Rahn
Arrahn memiliki sifat tabarru’ (derma). Hal ini dikarenakan pada dasarnya arrahn tidak meminta imbalan atau ganti. Artinya apa yang diberikan oleh pemberi gadai (rahin) kepada pemegang gadai adalah hutang bukan penukar atas barang yang digadaikan. Arrahn ini juga termasuk akad ainiyah, yakni suatu akad yang dianggap belum sempurna jika barang yang dijadikan objek gadai belum diserahkan kepada pemegang gadai. Maka agar akad rahn menjadi sempurna diperlukanlah alqabdhu, yakni serah terima barang yang menjadi objek gadai.Oleh karena itu jika alqabdhu tidak dilakukan maka akad arrahn memiliki dampak dan konsekuensi hukum, yakni akad arrahn tersebut menjadi tidak sah.

4. Rukun dan Syarat Arrahn
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai rukun gadai syariah atau arrahn, akan tetapi jika digabungkan pendapat jumhur ulama tersebut maka rukun arrahn terdiri dari :
- Arrahin (yang menggadaikan), yakni orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
- Almurtahin (yang menerima gadai), yakni orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan barang jaminan
- Almarhun /rahn (barang yang digadaikan), yakni barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
- Almarhunbih (utang), yakni sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun .
- Sighat, ijab dan qabul, yakni kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. 
Mengenai sighat para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, ada yang berkata sighat merupakan rukun gadai syariah dan ada pula yang berpendapat sighat tidak termasuk rukun gadai syariah.110 Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sighat tidak termasuk rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang ) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang, dan menerima barang agunan tersebut). Ulama Hanafi menyatakan bahwa untuk kesempurnaan dan mengikatnya akad arrahn, maka diperlukan alqabdhu (penguasaan barang oleh kreditur), sedangkan para pihak yang melakukan akad dan harta yang dijadikan agunan atau jaminan dimasukkan sebagai syarat rahn bukan rukun rahn. misalnya rahin menyatakan “saya menggadaikan barang ini kepadamu,” kemudian murtahin menjawab “saya terima/saya setuju,” kemudian barang diserahkan kepada murtahin.

Rancangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan bahwa rukun kontrak gadai terdiri dari unsur penerima gadai, pemberi gadai, harta gadai, utang dan kontrak. Hal ini diatur dalam Pasal 375 ayat 1 Rancangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Selain rukun arrahn juga memiliki syarat yakni haruslah sesuai dengan rukun rahn itu sendiri. Adapun syarat-syarat arrahn agar menjadi sah adalah sebagai
berikut:
- Pihak yang melakukan akad (rahin dan murtahin).
Rahin dan murtahin haruslah alahliyyah (memiliki kelayakan dan kompetensi melakukan akad). Maksudnya adalah haruslah orang yang cakap hukum, baligh dan berakal. Berbeda pula halnya dengan Ulama Hanafiyah yang tidak mensyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja, hal ini dikarenakan menurut mereka anak kecil yang mumayyiz sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk, maka mereka dapat melakukan perjanjian arrahn, akan tetapi dengan syarat mendapat persetujuan dari walinya. Rancangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga mensyaratkan bahwa para pihak yang melakukan kontrak gadai harus memiliki kecakapan hukum, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 376.
- Almarhun /rahn (barang yang digadaikan).
Secara umum marhun harus memiliki beberapa syarat yaitu, harus
diperjualbelikan, harus harta yang bernilai, harus bisa dimanfaatkan secara syariah, harus diketahui keadaan fisiknya, harus berupa barang yang diterima secara langsung dan harus dimiliki rahin/harus seizin pemiliknya.  Rancangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam Pasal 378 menyebutkan syarat-syarat barang gadai yakni harta gadai harus bernilai dan dapat diserahkan, harta gadai harus ada ketika kontrak dibuat dan harta gadai harus memungkinkan penggantian kerugian sehubungan dengan penggadaiannya.
- Al marhun bih ( utang ).
Al marhun bih (utang) harus memiliki syarat-syarat yakni harus merupakan hak yang wajib diberikan /diserahkan kepada pemiliknya, utang harus tetap bisa dimanfaatkan dan utang harus dapat dihitung jumlahnya.
- Sighat, ijab dan qabul.
Sighat, ijab dan qabul ini memiliki syarat yaitu dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan, yang didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian diantara kedua belah pihak dan tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan sesuatu dimasa depan, hal ini dikarenakan akad arrahn sama dengan jual beli.
- Penguasaan barang yang digadaikan.

Akad rahn baru sempurna jika barang yang diagunkan tersebut secara hukum sudah berada di tangan pemegang gadai (murtahin), dan uang sudah ada di tangan pemberi gadai (rahin). Dengan adanya penguasaan barang jaminan ini (qabdhul marhun ) maka akad rahn ini mengikat kedua belah pihak.  Hal senada juga disebutkan dalam Pasal 377 Rancangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang menyatakan bahwa kontrak gadai sempurna bila harta gadai telah dipegang oleh penerima gadai. 

5. Hak dan Kewajiban Para Pihak
- Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai Syariah
Murtahin selaku pemegang gadai memiliki hak dan kewajiban dalam perjanjian arrahn. Murtahin (pemegang gadai) memiliki hak untuk menjual marhun, jika rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat melunasi hutangnya, sedangkan hasil penjualan marhun diambil sebagian untuk melunasi hutangnya dan sisanya dikembalikan kepada rahin. Hak untuk mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun. Hak untuk menahan marhun jika murtahin belum melunasi hutangnya.

Sedangkan kewajiban murtahin adalah bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, jika hal tersebut terjadi karena kelalaiannya. Murtahin tidak diperkenankan menggunakan marhun untuk kepentingannya sendiri. Murtahin wajib memberitahukan kepada rahin jika marhun akan dilelang.

- Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah
Pemberi gadai syariah (rahin) mempunyai hak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih. Hak menuntut ganti kerugian jika barang gadai rusak atau hilang yang diakibatkan oleh kelalaian pemegang gadai. Hak untuk meminta kembali marhun jika murtahin menyalahgunakan marhun.

Sedangkan kewajiban dari rahin sebagai pemberi gadai adalah melunasi marhun bih yang telah diterimanya dari murtahin dalam jangka waktu yang telah ditentukan, termasuk semua biaya yang telah ditentukan oleh murtahin. Rahin wajib merelakan penjualan atas marhun jika dalam jangka waktu yang ditentukan rahin tidak dapat melunasi hutangnya kepada murtahin.

6. Akad Yang Digunakan dalam Gadai Syariah
Pada dasarnya dalam hukum Islam akad yang digunakan pada gadai syariah adalah akad tabarru’ (derma), karena apa yang diserahkan adalah tanpa imbalan atau ganti.  Arrahn ini termasuk dalam salah satu akad al’aini, yakni akad yang dianggap belum sempurna kecuali jika al‘ain atau barang yang menjadi objek akad telah diserahkan. Akad al’aini ini terdiri dari lima yakni hibah, i’aarah (peminjaman), lidaa’ (titipan), alqardh (pinjaman hutang) dan arrahn (gadai).115Akan tetapi di dalam prakteknya akad tabarru’ mengalami pergeseran dan perkembangan, hal ini dapat dilihat dari akad-akad yang digunakan dalam praktek Pegadaian Syariah. Adapun dalam praktek Pegadaian Syariah akad yang digunakan adalah sebagai berikut :
- Akad arrahn.
Akad arrahn adalah suatu akad antara rahin dan murtahin dimana rahin berkewajiban untuk menyerahkan hartanya sebagai jaminan atas utang atau pinjaman yang diterimanya.
- Akad ijarah.
Akad ijarah ialah suatu akad yang dilakukan oleh rahin dan murtahin, dimana akad yang dilakukan merupakan pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui upah sewa, tanpa dilakukan pemindahan secara yuridis.
- Alqardul hasan.
Akad qardhul hasan merupakan akad/perjanjian antara rahin dan murtahin dalam hal transaksi gadai harta benda dengan tujuan untuk memperoleh dana tunai yang akan digunakan untuk keperluan konsumtif. Dalam hal ini rahin hanya dikenakan biaya administratif yang jumlahnya ditentukan oleh murtahin yakni sesuai dengan besarnya jumlah pinjaman.
- Akad mudharabah.
Akad ini merupakan suatu akad atau perjanjian yang dilakukan oleh rahin dan murtahin, dimana rahin menggadaikan barangnya atau hartanya sebagai jaminan guna memperoleh sejumlah dana yang akan digunakan untuk menambah modal usaha atau pembiayaan produktif. Dalam akad ini pihak rahin memberikan keuntungan yakni berupa bagi hasil kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya hingga modal yang dipinjamkan terlunasi. Misalnya si A (rahin) ingin membuka usaha berupa outlet pakaian (boutiqe), maka setelah melakukan survey dan pertimbangan yang matang maka B (murtahin) memberikan sejumlah modal kepada si A, dengan syarat keuntungan berupa bagi hasil diserahkan kepada si B selaku murtahin sesuai dengan kesepakatan diantara mereka.
- Akad ba’i muqayyadah.
Akad ini adalah akad yang dilakukan oleh rahin dan murtahin dimana dalam hal ini rahin melakukan pembelian yang akan digunakan untuk peralatan modal usaha, dan dalam hal ini murtahin menyediakan atau memfasilitasi apa yang diinginkan oleh si rahin, dengan memark up harga barang yang dibutuhkan sebagai keuntungan bagi si murtahin. Misalnya si A ingin mempunyai toko emas, maka si B (murtahin) membeli toko emas dari pihak lain atau C seharga 175 juta, kemudian si B (murtahin) menjual kepada si A seharga 200 juta. Hasil mark up tersebut merupakan keuntungan bagi si B dalam menjalankan usahanya. Si A setelah memperoleh toko emas yang diinginkannya dapat membayar secara kredit (mencicil) pembelian toko emas tersebut kepada si B.
- Akad musyarakah.
Akad ini adalah akad kerjasama yang dilakukan oleh 2 pihak atau lebih yang disponsori oleh Pegadaian Syariah untuk berbagi hasil, berbagi kepemilikan, dan berbagi resiko dalam sebuah usaha dengan skim gadai. Pola musyarakah ini bertujuan untuk terjadinya investasi bersama antara pihak yang mempunyai modal sedikit tetapi memiliki kemampuan yang memadai untuk berusaha dengan pihak yang mempunyai modal besar tetapi belum memanfaatkan usahanya secara optimal. Dalam hal ini Pegadaian Syariah memperoleh keuntungan dari usaha menghimpun dana yang dilakukan oleh kedua belah pihak (partnersip) tersebut dalam menjalankan usahanya. Misalnya Si A dan B ingin membuka usaha dibidang kuliner, si A dan si B sepakat untuk melakukan kerjasama dengan modal awal yang dilakukan adalah melakui skim gadai. Pihak Pegadaian dalam hal ini memfasilitasi keinginan dari kedua belah pihak tersebut. Dalam hal ini Pegadaian Syariah telah memperoleh keuntungan dari usahanya berupa menghimpun dana melalui akad musyarakah tersebut.

7. Pemanfaatan Barang Jaminan
Pada dasarnya barang yang dijadikan sebagai jaminan adalah merupakan titipan, sehingga barang yang dijadikan gadai tidak boleh dimanfaatkan sebelum rahin melunasi kewajibannya. Jika murtahin memanfaatkan barang gadaian tersebut maka murtahin harus menanggung segala resiko kemungkinan yang akan timbul terhadap barang gadai tersebut. Berkenaan dengan pemanfaatan barang jaminan atau barang gadai ini para ulama memiliki perbedaan pendapat baik terhadap pemanfaatan yang dilakukan oleh rahin maupun oleh murtahin.

- Pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin.
Jumhur ulama selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan, hal ini dikarenakan murtahin hanyalah sebagai pemegang amanah yakni berupa pemegang jaminan atas barang yang dijadikan sebagai objek jaminan atas hutang-hutang rahin. Jika rahin tidak mampu melunasi hutangnya maka barulah murtahin diperbolehkan mengambil manfaat ataupun menjual barang jaminan tersebut. Berbeda halnya jika murtahin telah memperoleh izin dari rahin untuk memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal ini sebagian ulama Hanafiyah memperbolehkannya sedangkan ulama Hambali, Maliki dan Syafii melarangnya. Alasan dilarangnya pemanfaatan barang gadai adalah dikhawatirkan masuk kedalam kategori riba yang dilarang oleh syara’, selain itu akan menimbulkan kekhawatiran bagi rahin jika murtahin tidak diperkenankan memanfaatkan barang gadai tersebut maka rahin tidak bisa memperoleh pinjaman dana atau uang yang dibutuhkannya.

Dalam hal barang jaminan berupa hewan ternak, sebagian ulama Hanafiyah berpendapat murtahin diperbolehkan memanfaatkan hewan tersebut jika telah memperoleh izin dari rahin. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan sebagai jaminan gadai baik dengan izin maupun tanpa izin rahin jika hewan ternak tersebut dibiarkan dan tidak diurus oleh rahin sebagai pemilik. Ulama Hanabilah berpendapat murtahin berhak mengambil susu dan menggunakannya sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan oleh murtahin, hal ini didasarkan pada Hadits dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Tarmidzi,dan Abu Daud yang bunyinya : “Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya, wajib dikeluarkan biayanya.”

- Pemanfaatan barang jaminan oleh rahin.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang jaminan gadai jika diizinkan oleh murtahin, begitu pula sebaliknya jika murtahin ingin memanfaatkan barang jaminan gadai harus pula memperoleh izin dari rahin. Artinya dalam hal ini barang jaminan gadai dapat dimanfaatkan apabila memperoleh izin dari kedua belah pihak. Segala kemungkinan resiko yang akan timbul haruslah menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa rahin tidak perlu meminta izin dari murtahin jika ingin memanfaatkan barang jaminan gadai, hal ini disandarkan pada rasio bahwa barang jaminan tersebut adalah milik rahin dan sebagai pemilik maka rahin tidak boleh dihalang-halangi guna memanfaatkan hak miliknya. Apabila terjadi kerusakan ketika dimanfaatkan maka rahin sebagai pemilik harus pula bertanggung jawab atas barang jaminan gadai tersebut.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan gadai baik dengan izin ataupun tanpa izin dari murtahin, hal ini dikarenakan barang tersebut berstatus sebagai jaminan utang, bukan lagi hak milik rahin secara penuh.
Dari beberapa pendapat ulama diatas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa murtahin diperbolehkan memanfaatkan barang gadai atau mengenakan biaya terhadap rahin sebagai imbalan atau pemeliharaan barang jaminan gadai tersebut. 

Dalam Rancangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 410 juga disebutkan bahwa pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya penyimpanan dan pemeliharaan barang gadai.

8. Hapusnya Ar-Rahn
Hapusnya arrahn menurut Wahbah Azzuhaili adalah disebabkan hal-hal
sebagai berikut : 
- Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
- Rahin (penggadai) membayar utangnya.
- Dijual paksa, yaitu dijual berdasarkan penetapan hakim atas permintaan rahin.
- Pembebasan hutang dengan cara apapun sekalipun dengan pemindahan oleh murtahin.
- Pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
- Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
- Memanfaatkan barang gadaian dengan penyewaan, hibah atau shadaqah, baik dari pihak rahin maupun murtahin.
- Meninggalnya rahin (menurut Malikiyah) dan atau murtahin ( menurut Hanafiyah), sedangkan Syafiiyah dan Hanabilah beranggapan bahwa kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn.

Sedangkan ulama fiqh menyebutkan bahwa suatu akad dapat berakhir, apabila terjadi terjadi hal-hal berikut: 
- Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
- Dibatalkan oleh pihak –pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
- Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir apabila :
- Akad itu fasid. 
- Berlaku khiyar syarat, khiyar ‘aib. 
- Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
- Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
- Wafat salah satu pihak yang berakad, namun dapat diteruskan oleh ahliwarisnya, dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel