Permasalahan Kesetaraan Gender di Indonesia
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki
berbeda. Namun, gender bukanlah jenis
kelamin laki-laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih
ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh
masyarakat. Dalam realitas kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial
laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat,
dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial.
Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan
oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh
interpretasi agama dan mitos-mitos.
Perbedaan jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk
membentuk pembagian peran (kerja) laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan
tersebut. Akibatnya terjadilah pembagian peran gender yaitu peran domestik dan
peran publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan
pengaruh. Peran ini lebih banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan
peran publik yang menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada
kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan
ketimpangan peran laki-laki dan perempuan yang berakibat ketidakadilan gender
yang merugikan perempuan.
Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek
antara lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi,
pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan
kultural masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan suku. Setiap
masyarakat suku di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dalam memaknai
peran gender di Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini
menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih
terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup
substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri.
Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya
keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga negara, terutama lembaga
pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di
bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan
pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat
lambat.
Meskipun perempuan ditempatkan pada peran domestik di
lingkungan keluarga, namun posisi perempuan Indonesia di lingkungan keluarga
selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi kepala
rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-laki/suami, kecuali jika
perempuan tersebut adalah seorang janda atau tidak ada laki-laki dalam suatu
keluarga.
Selama ini, pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi
bahwa secara kodrat, perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi
pemimpin dalam sebuah keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki. Hal ini
menunjukkan dominasi laki-laki pada peran domestik. Keadaan tersebut menyebabkan
posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak
terbatas, seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya.
Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi.
Penempatan perempuan pada tugas domestik sepenuhnya
mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan hal produktif menjadi
berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan
antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27. Namun
demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini berlaku di
Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif terhadap perempuan.
Seperti dalam UU mengenai sistem pengupahan tenaga kerja perempuan, tunjangan
keluarga dan tunjangan kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga suami dan
anak-anak tidak mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja
laki-laki.
Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. 7 Tahun 1990 tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem
Pengupahan di lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri Pertambangan
No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan
No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta
pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983
dan Pasal 8 UU No. 10/1994 tentang prosedur memperoleh NPWP. Selain itu,
berdasarkan data Komnas perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar
282 peraturan daerah yang diduga bias gender.
Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu
mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan
gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan
berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.